Halaman

Jumat, 17 Januari 2014

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Munculnya pembelajaran kontekstual dilatar belakangi oleh rendahnya mutu keluaran/hasil pembelajaran yang di tandai dengan ketidak mampuan sebagian besar siswa menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut pada saat ini dan kemudian hari dalam kehidupan siswa. Oleh karena itu, perlu pembelajaran yang mampu mengaitkan antara materi yang di ajarkan dengan dunia nyata siswa, diantaranya melaui penerapan contextual teaching and learning.
A.  Hakikat Belajar dan Pembelajaran
1.   Hakikat Belajar
Perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Lalu ada kategori lain mengenai perubahan yakni perubahan yang berjalan singkat, yang harus di garis bawahi bahwa perubahan hasil belajar diperoleh karena individu yang bersangkutan berusaha untuk belajar.
Dari uraian di atas dapat di dentifikasi ciri-ciri kegiatan belajar yaitu:
a.    Belajar adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri seseorang, baik secara aktual maupun potensial.
b.    Perubahan yang di dapat sesungguhnya adalah kemampuan yang baru dan di tempuh dalam jangka waktu yang lama.
c.    Perubahan terjadi karena ada usaha dari dalam diri setiap individu.
Gagne (1977) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Menurut sunaryo (1989:1) belajar merupakan suatu kegiatan dimana seseorang membuat membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Jadi di simpulkan, belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan yang di peroleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan yang terjadi tidak di sebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan sementara karena suatu hal.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar meliputi :
a.       Prinsip kesiapan, Tingkat keberhasilan belajar bergantung pada kesiapan belajar.
b.      Prinsip asosiasi, Tingkat keberhasilan belajar juga bergantung pada kemampuan pelajar mengasosiasikan atau menghubungkan apa yang sedang  dipelajari dengan apa yang sudah ada dalam ingatannya.
c.       Prinsip latihan, Pada dasarnya mempealajrai sesuatu itu perlu berulang-ulang atau diulang-ulang, baik mempelajari pengetahuan, keterampilan, bahkan juga dalam kawasan afektif.
d.      Prinsip efek (akibat), situasi emosional dapat disimpulkan sebagai perasaan senang atau tidak senang selama belajar.

2.      Hakikat pembelajaran
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Pembelajaran dapat dipandang dari dua sudut:
a. Pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran dipandang suatu sistem, pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajran dan tindak lanjut pembelajaran (remedial/pengayaan).
b. Pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar.
3.      Keterkaitan belajar dengan pembelajaran
Keterkaitan belajar dan pembelajaran dapat digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar dan pembelajaran memerlukan masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan pengalaman belajar dalam proses belajar mengajar (learning teaching process) dengan harapan berubah menjadi keluaran (output) dengan kompetensi tertentu. Selain itu, proses belajar dan pembelajaran dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan yang menjadi masukan lingkungan (environment input) dan faktor instrumental (instrumental input) yang merupakan faktor yang sengaja di rancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan keluaran yang ingin dihasilkan.
B.  Hakikat Pembelajaran Kontekstual
1.      Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Blanchard (2001:1), Berns dan Erickson (2001:2) mengemukakan bahwa: Pembelaajran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyatasiswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja.
Hull’s dan Sounders (1996:3) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata.
Johnson (2002:24) mendefinisikan: pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna.
Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya.
2. Karakteristik Pembelajaran Kontektual
Blanchard (2001:2-8) mengidentifikasi beberapa karakteristik pendekatan kontekstual (contextual instruction) sebagai berikut:
1.      Relies on spatial memory (bersandar pada memori mengenai ruang).
2.      Typically integrated multiple subjects (mengintegrasikan berbagai subjek materi/disiplin).
3.      Value of information is based on individual need (nilai informasi di dasarkan pada kebutuhan siswa).
4.      Relates information with prior knowledge (menghubungkan informasi dengan pengetahuan awal siswa).
5.      Authentic assessment throught practical application or solving of realistic problem (penilaian sebenarnya melalui aplikasi praktis atau pemecahan masalah nyata).
Bern dan Ericson (2001:3-9) mengemukakan karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai berikut: Interdisciplinary learning, problem-based learning, dan external contexts for learning.
Johnson (2002:24) mengidentifikasi delapan karakteristik contextual teaching and learning, yaitu:
a.       Making meaningful connections (membuat hubungan penuh makna).
b.      Doing significant work (melakukan pekerjaan penting).
c.       Self-regulated learning (belajar mengatur sendiri).
d.      Critical and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif).
e.       Nurturing the individual (memelihara individual).
f.       Reaching high standars (mencapai standar tinggi).
g.      Using authentic assessment (penggunaan penilaian sebenarnya).
h.      Using authentic assessment (mengadakan asesmen autentik).
Sounders (1999:5-10) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual di fokuskan pada REACRT:
1.      Relating (belajar dalam konteks pengalaman hidup).
2.      Experiencing (belajar dalam konteks pencarian dan penemuan).
3.      Applying (belajar ketika pengetahuan diperkenalkan dalam konteks penggunaannya).
4.      Cooperating (belajar melalui konteks komunikasi interpesonal dan saling berbagi).
5.      Transfering (belajar penggunaan pengetahuan dalam suatu konteks atau situasi baru).
Advanced technology environmental and energy center ( ATEEC), Fellows (2000: 2-7), menjelaskan karakteristik pembelajaran kontektual sebagai berikut:
a.       Problem-based (berbasis masalah).
b.      Using miltiple contexts (penggunaan berbagai konteks).
c.       Drawing upon student diversity (penggambaran keanekaragaman siswa).
d.      Supporting self-regulated learning (pendukung pembelajaran pengatuaran diri).
e.       Using interdependent learning groups (penggunaan kelompok belajar yang saling ketergantungan).
f.       Employing authentic assessment (memanfaatkan penilaian asli).
Sementara itu, Ditjen Dikdasmen (2003: 10-19) menyebutkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
a.       Konstruktivisme (contructivism), pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi  sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
b.      Menemukan (inquiry), pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri.
c.       Bertanya (quetioning), pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya.
d.      Masyarakat belajar (learning community), hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain.
e.       Pemodelan (modelling), dalam pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru.
f.       Refleksi (reflection), refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pangetahuan yang baru diterima.
g.      Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment), penilaian dapat berupa penilaian tertulis dan penilaian berdasarkan perbuatan, penugasan, produk, atau portofolio.
Komalasari (2008) mengidentifikasi karakteristik pembelajaran kontekstual meliputi pembelajaran yang menerapkan konsep:
a.       Keterkaitan (relating), proses pembelajaran memiliki keterkaitan (relevensi) dengan bekal pengetahuan yang telah ada pada diri siswa dwn dwngan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata siswa.
b.      Pengalaman langsung (experiencing), proses pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami sendiri secara langsung.
c.       Aplikasi (applying), dalam pembelajaran kontekstual, penerapan ini lebih banyak diarahkan pada dunia nyata.
d.      Kerja sama (cooperating), pembelajaran yang menerapkan konsep kerja sama adalah pembelajaran yang mendorong kerja sama diantara siswa, siswa dengan guru, dan sumber belajar.
e.       Pengaturan diri (self- regulating), pembelajaran yang menerapkan konsep pengaturan diri adalah pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengatur diri dan pembelajaran secara mandiri.
f.       Asesmen autentik (authentic assesment), pembelajaran yang menerapkan konsep assesmen autentik adalah pembelajaran yang mengatur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar.

C.  Landasan Filosofis Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual mendasarkan pada filosofi konstruktivisme. Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Glasersfeld, 1989:34). Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah di ajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pemgalaman mereka (Lorsbach dan Tobin, 1992:67).
Dalam proses konstruksi itu, menurut Glasesfeld (1989:43) diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:
1.      Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2.      Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbandingan.
3.      Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lain.
Terdapat lima elemen belajar yang kontruktivistik (Zahorik, 1995:14-22), yaitu:
a.       Pengatifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
b.      Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan lebih dulu, kemudian memperhatikan detailnya:
c.       Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas tanggapan itu, konsep tersebut di kembangkan
d.      Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Mengajar haruslah “menghidupkan” topik yang mati sehingga tercipta pemahaman, penguasaan, dan rasa cinta pada materi yang di ajarkan serta tumbuh komitmen untuk mempelajarinya lebih dalam (glaser, 1996).
Sikap dan persepsi positif terhadap belajar menjadi pemicu rasa suka dan keterlibatan diri secsra total (ego involvement) terhadap peristiwa belajar (degeng, 2001:4-6).
Ditjen Dikdasmen (2003: 3-5) menyatakan kecendrungan tentang belajar berdasarkan konstruktivisme tersebut sebagai berikut:
a.       Proses belajar, meliputi belajar tidak hanya sekedar menghafal, akan tetapi siswa harus mengonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.      Trasfer belajar, meliputi siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian orang lain’.
c.       Siswa sebagai pembelajar, meliputi siswa memiliki kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
d.      Pentingnya lingkungan belajar, meliputi belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
D.  Teori Belajar Pendukung Pembelajaran Kontekstual
1.    Teori perkembangan dari Piaget
Menurut Piaget (1951:78), bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual. Proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahapan-tahapan perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu:
a)    Periode sensorimotor (usia 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak akan tampak dari kegiatan motorikdan persepsinya yang sederhana.
b)   Tahapan praoperasional (2-7 tahun)
Piaget menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata.
c)    Tahapan operasional konkret (7-11 tahun)
Anak sudah mulai menggunakan kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya kedalam rangkaian tersebut, dan anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
d)   Tahapan operasional formal ( 11 tahun –dewasa)
Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan berfikir secara abstrak, menalar, secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hl-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
2.    Teori Free Discovery Learning dari Bruner
Teori Free Discovery Learning, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
a.       Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya.
b.      Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
c.       Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.

3.    Teori Meaningful Learning dari Ausubel
Menurut Ausubel, belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
4.    Teori Belajar Vygotsky
Vygostsky mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya. Menurut vygotsky (1978:134) perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai dengan teori sosiogenesis. Konsep-konsep  penting teori sosiogenetis Vygotsky tentang perkembangan kognitif antara lain :
a.       Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran psikologis didalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsikologis atau intramental).
b.      Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky mengemukakan perkembangan seseorang dapat dibedakan kedalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.

E.  Strategi Pembelajaran Kontekstual
Bern dan Erickson (2001: 5-11) mengemukakan lima strategi dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual, yaitu:
1.      Pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), pendekatan yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu.
2.      Cooperative learning (pembelajaran kooperatif), pendekatan yang mengorganisasikan pembelajaran dengan menggunakan kelompok belajar kecil di mana siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3.      Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pendekatan yang memusat pada prinsip dan konsep utama suatu disiplin.
4.      Pembelajaran pelayanan (service learning), pendekatan yang menyediakan suatu aplikasi praktis suatu pengembangan pengetahuan dan keterampilan baru untuk kebetuhan di masyarakat melalui proyek dan aktivitas.
Ditjen Dikdasmen (2003:4-8) menegaskan bahwa pembelajaran kontekstual dalam menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memerhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Sehubungan dengan itu, pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut ini:
1.      Belajar berbasis masalah (problem-based learning)
2.      Pengajaran autentik (authentic instruction)
3.      Belajar berbasis inquiri (inquiry-based learning)
4.      Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning)
5.      Belajar berbasis kerja (work-based learning)
6.      Belajar jasa layanan (service learning)
7.      Belajar kooperatif (cooperative learning)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar