BELAJAR DAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Munculnya pembelajaran kontekstual dilatar belakangi
oleh rendahnya mutu keluaran/hasil pembelajaran yang di tandai dengan ketidak
mampuan sebagian besar siswa menghubungkan apa yang telah mereka pelajari
dengan cara pemanfaatan pengetahuan tersebut pada saat ini dan kemudian hari
dalam kehidupan siswa. Oleh karena itu, perlu pembelajaran yang mampu
mengaitkan antara materi yang di ajarkan dengan dunia nyata siswa, diantaranya
melaui penerapan contextual teaching and learning.
A.
Hakikat
Belajar dan Pembelajaran
1.
Hakikat
Belajar
Perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi
tahu merupakan hasil dari proses belajar. Lalu ada kategori lain mengenai
perubahan yakni perubahan yang berjalan singkat, yang harus di garis bawahi
bahwa perubahan hasil belajar diperoleh karena individu yang bersangkutan
berusaha untuk belajar.
Dari
uraian di atas dapat di dentifikasi ciri-ciri kegiatan belajar yaitu:
a. Belajar
adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri seseorang, baik
secara aktual maupun potensial.
b. Perubahan
yang di dapat sesungguhnya adalah kemampuan yang baru dan di tempuh dalam
jangka waktu yang lama.
c. Perubahan
terjadi karena ada usaha dari dalam diri setiap individu.
Gagne (1977) mendefinisikan belajar sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia
seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan kemampuannya yakni peningkatan
kemampuan untuk melakukan berbagai jenis performance (kinerja). Menurut sunaryo
(1989:1) belajar merupakan suatu kegiatan dimana seseorang membuat membuat atau
menghasilkan suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Jadi di simpulkan, belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan yang di
peroleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan yang
terjadi tidak di sebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan sementara
karena suatu hal.
Prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan dalam belajar meliputi :
a. Prinsip
kesiapan, Tingkat keberhasilan belajar bergantung pada kesiapan belajar.
b. Prinsip
asosiasi, Tingkat keberhasilan belajar juga bergantung pada kemampuan pelajar
mengasosiasikan atau menghubungkan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang sudah ada dalam ingatannya.
c. Prinsip
latihan, Pada dasarnya mempealajrai sesuatu itu perlu berulang-ulang atau
diulang-ulang, baik mempelajari pengetahuan, keterampilan, bahkan juga dalam
kawasan afektif.
d. Prinsip
efek (akibat), situasi emosional dapat disimpulkan sebagai perasaan senang atau
tidak senang selama belajar.
2.
Hakikat
pembelajaran
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau
didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek
didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien.
Pembelajaran
dapat dipandang dari dua sudut:
a. Pembelajaran
dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran dipandang suatu sistem,
pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisasi antara lain
tujuan pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran,
pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajran dan tindak lanjut pembelajaran
(remedial/pengayaan).
b. Pembelajaran dipandang sebagai
suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru
dalam rangka membuat siswa belajar.
3.
Keterkaitan
belajar dengan pembelajaran
Keterkaitan belajar dan pembelajaran dapat
digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar dan pembelajaran memerlukan
masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan pengalaman belajar dalam proses
belajar mengajar (learning teaching process) dengan harapan berubah menjadi
keluaran (output) dengan kompetensi tertentu. Selain itu, proses belajar dan pembelajaran
dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan yang menjadi masukan lingkungan
(environment input) dan faktor instrumental (instrumental input) yang merupakan
faktor yang sengaja di rancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan
keluaran yang ingin dihasilkan.
B.
Hakikat
Pembelajaran Kontekstual
1.
Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Blanchard
(2001:1), Berns dan Erickson (2001:2) mengemukakan bahwa:
Pembelaajran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyatasiswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan
pekerja.
Hull’s
dan Sounders (1996:3) menjelaskan
bahwa dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan penuh makna
antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata.
Johnson
(2002:24) mendefinisikan: pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa
menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan
makna.
Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran
kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah
pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan
kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi
tersebut bagi kehidupannya.
2. Karakteristik Pembelajaran Kontektual
Blanchard
(2001:2-8) mengidentifikasi beberapa karakteristik pendekatan kontekstual
(contextual instruction) sebagai berikut:
1. Relies
on spatial memory (bersandar pada memori mengenai ruang).
2. Typically
integrated multiple subjects (mengintegrasikan berbagai subjek materi/disiplin).
3. Value
of information is based on individual need (nilai informasi di dasarkan pada
kebutuhan siswa).
4. Relates
information with prior knowledge (menghubungkan informasi dengan pengetahuan
awal siswa).
5. Authentic
assessment throught practical application or solving of realistic problem
(penilaian sebenarnya melalui aplikasi praktis atau pemecahan masalah nyata).
Bern
dan Ericson (2001:3-9) mengemukakan
karakteristik pembelajaran kontekstual sebagai berikut: Interdisciplinary
learning, problem-based learning, dan external contexts for learning.
Johnson
(2002:24) mengidentifikasi delapan karakteristik contextual teaching and
learning, yaitu:
a. Making
meaningful connections (membuat hubungan penuh makna).
b. Doing
significant work (melakukan pekerjaan penting).
c. Self-regulated
learning (belajar mengatur sendiri).
d. Critical
and creative thinking (berpikir kritis dan kreatif).
e. Nurturing
the individual (memelihara individual).
f. Reaching
high standars (mencapai standar tinggi).
g. Using
authentic assessment (penggunaan penilaian sebenarnya).
h. Using
authentic assessment (mengadakan asesmen autentik).
Sounders
(1999:5-10) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual di fokuskan pada REACRT:
1. Relating
(belajar dalam konteks pengalaman hidup).
2. Experiencing
(belajar dalam konteks pencarian dan penemuan).
3. Applying
(belajar ketika pengetahuan diperkenalkan dalam konteks penggunaannya).
4. Cooperating
(belajar melalui konteks komunikasi interpesonal dan saling berbagi).
5. Transfering
(belajar penggunaan pengetahuan dalam suatu konteks atau situasi baru).
Advanced technology environmental and energy center
( ATEEC), Fellows (2000: 2-7), menjelaskan karakteristik pembelajaran
kontektual sebagai berikut:
a. Problem-based
(berbasis masalah).
b. Using miltiple contexts
(penggunaan berbagai konteks).
c. Drawing upon student
diversity (penggambaran keanekaragaman siswa).
d. Supporting
self-regulated learning (pendukung
pembelajaran pengatuaran diri).
e. Using interdependent
learning groups (penggunaan kelompok belajar yang
saling ketergantungan).
f. Employing authentic
assessment (memanfaatkan penilaian asli).
Sementara itu, Ditjen
Dikdasmen (2003: 10-19) menyebutkan tujuh komponen utama pembelajaran
kontekstual, yaitu:
a. Konstruktivisme
(contructivism), pengetahuan dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.
b. Menemukan
(inquiry), pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri.
c. Bertanya
(quetioning), pengetahuan yang
dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya.
d. Masyarakat
belajar (learning community), hasil
pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain.
e. Pemodelan
(modelling), dalam pembelajaran
keterampilan atau pengetahuan tertentu ada model yang bisa ditiru.
f. Refleksi
(reflection), refleksi merupakan
respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pangetahuan yang baru diterima.
g. Penilaian
yang sebenarnya (authentic assessment), penilaian dapat berupa penilaian
tertulis dan penilaian berdasarkan perbuatan, penugasan, produk, atau
portofolio.
Komalasari
(2008) mengidentifikasi karakteristik pembelajaran kontekstual meliputi
pembelajaran yang menerapkan konsep:
a. Keterkaitan
(relating), proses pembelajaran
memiliki keterkaitan (relevensi) dengan bekal pengetahuan yang telah ada pada
diri siswa dwn dwngan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata siswa.
b. Pengalaman
langsung (experiencing), proses
pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengonstruksi
pengetahuan dengan cara menemukan dan mengalami sendiri secara langsung.
c. Aplikasi
(applying), dalam pembelajaran
kontekstual, penerapan ini lebih banyak diarahkan pada dunia nyata.
d.
Kerja sama (cooperating), pembelajaran yang
menerapkan konsep kerja sama adalah pembelajaran yang mendorong kerja sama
diantara siswa, siswa dengan guru, dan sumber belajar.
e.
Pengaturan diri (self- regulating), pembelajaran yang
menerapkan konsep pengaturan diri adalah pembelajaran yang mendorong siswa
untuk mengatur diri dan pembelajaran secara mandiri.
f. Asesmen
autentik (authentic assesment),
pembelajaran yang menerapkan konsep assesmen autentik adalah pembelajaran yang
mengatur, memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar.
C.
Landasan
Filosofis Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual mendasarkan pada filosofi
konstruktivisme. Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Glasersfeld, 1989:34). Glasersfeld
menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang
telah di ajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pemgalaman mereka
(Lorsbach dan Tobin, 1992:67).
Dalam proses konstruksi itu, menurut Glasesfeld (1989:43) diperlukan
beberapa kemampuan sebagai berikut:
1. Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
2. Kemampuan
membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan
perbandingan.
3. Kemampuan
untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lain.
Terdapat lima elemen belajar yang kontruktivistik
(Zahorik, 1995:14-22), yaitu:
a. Pengatifan
pengetahuan yang sudah ada (activating
knowledge)
b. Pemerolehan
pengetahuan baru (acquiring knowledge)
dengan cara mempelajari secara keseluruhan lebih dulu, kemudian memperhatikan
detailnya:
c. Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge),
yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing
kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas tanggapan itu,
konsep tersebut di kembangkan
d. Mempraktikkan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (reflecting knowledge) terhadap strategi
pengembangan pengetahuan tersebut.
Mengajar haruslah “menghidupkan” topik yang mati
sehingga tercipta pemahaman, penguasaan, dan rasa cinta pada materi yang di
ajarkan serta tumbuh komitmen untuk mempelajarinya lebih dalam (glaser, 1996).
Sikap dan persepsi positif terhadap belajar menjadi
pemicu rasa suka dan keterlibatan diri secsra total (ego involvement) terhadap
peristiwa belajar (degeng, 2001:4-6).
Ditjen Dikdasmen
(2003: 3-5) menyatakan kecendrungan tentang belajar berdasarkan konstruktivisme
tersebut sebagai berikut:
a. Proses
belajar, meliputi belajar tidak hanya sekedar menghafal, akan tetapi siswa
harus mengonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
b. Trasfer
belajar, meliputi siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari ‘pemberian
orang lain’.
c. Siswa
sebagai pembelajar, meliputi siswa memiliki kecenderungan untuk belajar dengan
cepat hal-hal baru.
d. Pentingnya
lingkungan belajar, meliputi belajar efektif itu dimulai dari lingkungan
belajar yang berpusat pada siswa.
D.
Teori
Belajar Pendukung Pembelajaran Kontekstual
1.
Teori
perkembangan dari Piaget
Menurut
Piaget (1951:78), bagaimana
seseorang memperoleh kecakapan intelektual. Proses belajar seseorang akan
mengikuti pola dan tahapan-tahapan perkembangan sesuai dengan umurnya. Piaget
membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu:
a) Periode
sensorimotor (usia 0-2 tahun)
Pertumbuhan
kemampuan anak akan tampak dari kegiatan motorikdan persepsinya yang sederhana.
b) Tahapan
praoperasional (2-7 tahun)
Piaget
menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif
baru dari fungsi psikologis muncul. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental
yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar
menggunakan dan mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata.
c) Tahapan
operasional konkret (7-11 tahun)
Anak sudah mulai
menggunakan kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, memberi
nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya,
atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya kedalam rangkaian tersebut, dan anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
d) Tahapan
operasional formal ( 11 tahun –dewasa)
Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan berfikir
secara abstrak, menalar, secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi
yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hl-hal seperti
cinta, bukti logis, dan nilai.
2.
Teori
Free Discovery Learning dari Bruner
Teori Free
Discovery Learning, Bruner mengatakan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Perkembangan
kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya
melihat lingkungan, yaitu:
a. Tahap
enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami
lingkungan sekitarnya.
b. Tahap
ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan
visualisasi verbal.
c. Tahap
simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
3.
Teori
Meaningful Learning dari Ausubel
Menurut Ausubel, belajar merupakan asimilasi
bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
4.
Teori
Belajar Vygotsky
Vygostsky mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang
harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya. Menurut vygotsky
(1978:134) perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai
dengan teori sosiogenesis. Konsep-konsep
penting teori sosiogenetis Vygotsky tentang perkembangan kognitif antara
lain :
a. Hukum
genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut
vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua
tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya
(dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan tataran
psikologis didalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai
intrapsikologis atau intramental).
b. Zona
perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky mengemukakan
perkembangan seseorang dapat dibedakan kedalam dua tingkat, yaitu tingkat
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.
E.
Strategi
Pembelajaran Kontekstual
Bern
dan Erickson (2001: 5-11)
mengemukakan lima strategi dalam mengimplementasikan pembelajaran kontekstual,
yaitu:
1. Pembelajaran
berbasis masalah (problem-based learning), pendekatan yang melibatkan siswa
dalam memecahkan masalah dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan
keterampilan dari berbagai disiplin ilmu.
2. Cooperative
learning (pembelajaran kooperatif), pendekatan yang mengorganisasikan
pembelajaran dengan menggunakan kelompok belajar kecil di mana siswa bekerja
bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran.
3. Pembelajaran
berbasis proyek (project-based learning), pendekatan yang memusat pada prinsip
dan konsep utama suatu disiplin.
4. Pembelajaran
pelayanan (service learning), pendekatan yang menyediakan suatu aplikasi
praktis suatu pengembangan pengetahuan dan keterampilan baru untuk kebetuhan di
masyarakat melalui proyek dan aktivitas.
Ditjen Dikdasmen
(2003:4-8) menegaskan bahwa pembelajaran kontekstual dalam menempatkan siswa
dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi
yang sedang dipelajari dan sekaligus memerhatikan faktor kebutuhan individual
siswa dan peran guru. Sehubungan dengan itu, pendekatan pengajaran kontekstual
harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut ini:
1. Belajar
berbasis masalah (problem-based learning)
2. Pengajaran
autentik (authentic instruction)
3. Belajar
berbasis inquiri (inquiry-based learning)
4. Belajar
berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning)
5. Belajar
berbasis kerja (work-based learning)
6. Belajar
jasa layanan (service learning)
7. Belajar
kooperatif (cooperative learning)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar